Kamis, 26 Mei 2011

Tujuan hukum

Sama halnya dengan pengertian hukum, banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :

1. Prof Subekti, SH :
Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn :
Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny :
Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.

Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas dibentuknya hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.

Secara singkat Tujuan Hukum antara lain:

  • keadilan
  • kepastian
  • kemanfaatan

Menurut kami sendiri hukum bertujuan untuk mencapai kehidupan yang selaras dan seimbang, mencegah terjadinya perpecahan dan mendapat keselamatan dalam keadilan.

sumber : http://belajarhukumindonesia.blogspot.com/2010/02/tujuan-hukum.html

Sumber-sumber hukum

Sumber-sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan terbentuknya peraturan-peraturan. Peraturan tersebut biasanya bersifat memaksa. Sumber-sumber Hukum ada 2 jenis yaitu:
1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan doktrin

Undang-Undang
ialah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya UU, PP, Perpu dan sebagainya

Kebiasaan
ialah perbuatan yang sama yang dilakukan terus-menerus sehingga menjadi hal yang yang selayaknya dilakukan. Contohnya adat-adat di daerah yang dilakukan turun temurun telah menjadi hukum di daerah tersebut.

Keputusan Hakim (jurisprudensi)
ialah Keputusan hakim pada masa lampau pada suatu perkara yang sama sehingga dijadikan keputusan para hakim pada masa-masa selanjutnya. Hakim sendiri dapat membuat keputusan sendiri, bila perkara itu tidak diatur sama sekali di dalam UU

Traktat
ialah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara ataupun lebih. Perjanjian ini mengikat antara negara yang terlibat dalam traktat ini. Otomatis traktat ini juga mengikat warganegara-warganegara dari negara yang bersangkutan.

Pendapat Para Ahli Hukum (doktrin)
Pendapat atau pandangan para ahli hukum yang mempunyai pengaruh juga dapat menimbulkan hukum. Dalam jurisprudensi, sering hakim menyebut pendapat para sarjana hukum. Pada hubungan internasional, pendapat para sarjana hukum sangatlah penting.

sumber : http://belajarhukumindonesia.blogspot.com/2010/02/sumber-sumber-hukum.html

kodifikasi hukum

Yang dimaksud dengan kodifikasi hukum adlah pembukuan secara lengkap dan sistematis tentang hukum tertentu. Yang menyebabkan timbulnya kodifikasi hukum ialah tidak adanya kesatuan dan kepastian hukum (di Perancis).

Aliran-aliran (praktek) hukum setelah adanya kodifikasi hukum
1. Aliran Legisme, yang berpendapat bahwa hukum adalah undang-undang dan diluar undang-undang tidak ada hukum.
2. Aliran Freie Rechslehre, yang berpenapat bahwa hukum terdapat di dalam masyarakat.
3. Aliran Rechsvinding adalah aliran diantara aliran Legisme dan aliran Freie Rechtslehre. Aliran Rechtsvinding berpendapat  bahwa hukum terdapat dalam undang-undang yang diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Kodifikasi hukum di Perancis dianggap suaru karya besar dan dianggap memberi manfaat yang besar pula sehingga diikuti oleh negara-negara lain.
Maksud dan tujuan diadakannya kodifikasi hukum di Perancis ialah untuk mendapatkan suaru kesatuan dan kepastian hukum (rechseenheid dan rechszekerheid). yang dihasilakan dari kodifikasi tersebut ialah code Civil Prancis atau Code Napoleon.
Aliran hukum yang timbul karena kodifikasi adalah aliran legisme.
Kodifikasi hukum di Indonesia antara lain KUHP, KUH Perdata, KUHD dan KUHAP.

sumber : http://www.pendekarhukum.com/ilmu-hukum/32-kodifikasi-hukum.html

Pengertian hukum ekonomi

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
รพ Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : 
1. Hukum ekonomi pembangunan, adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara Nasional. 
2. Hukum Ekonomi social, adlah yang menyangkut pengaturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembangian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia Indonesia. 

Sumber : http://lailly0490.blogspot.com/2010/03/pengertian-hukum-dan-hukum-ekonomi.html

Subyek Hukum dan Obyek Hukum

Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.
1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Benda itu sendiri dibagi menjadi :
1. Berwujud / Konkrit
a. Benda bergerak
- bergerak sendiri, contoh : hewan.
- digerakkan, contoh : kendaraan.
b. Benda tak bergerak, contoh tanah, pohon-pohon dsb.
2. Tidak Berwujud/ Abstrak contoh gas, pulsa dsb.

Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak jaminan)

Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan)

Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan, jika debitor melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).

Dengan demikian, hak jaminan tidak dapat berdiri sendiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit).

Perjanjian utang-piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.

Kegunaan dari jaminan, yaitu:

1. Memberi hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji.
2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya, dengan merugikan diri sendiri, dapat dicegah.
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, misalnya dalam pembayaran angsuran pokok kredit tiap bulannya.

Syarat-syarat benda jaminan :

1. Mempermudah diperolehnya kredit bagi pihak yang memerlukannya.
2. Tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
3. Memberikan informasi kepada debitur, bahwa barang jaminan setiap waktu dapat di eksekusi, bahkan diuangkan untuk melunasi utang si penerima (nasabah debitur).

Manfaat benda jaminan bagi kreditur :

1. Terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup.
2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur, adalah untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya.

Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :

1. Jaminan yang bersifat umum

Menurut pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditor yang memberikan utang kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yakni menurut besar-kecilnya piutang masing-masing. Kecuali, jika diantara berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Benda yang dapat dijadikan jaminan yang bersifat umum apabila telah memenuhi persyaratan, antara lain :

1. benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
2. benda tersebut dapat di pindah tangankan haknya kepada pihak lain.

2. Jaminan yang bersifat khusus

Merupakan hak khusus bagi jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.

Sumber :
http://0wi3.wordpress.com/2010/03/20/subjek-dan-objek-hukum/

hukum perdata yang berlaku di indonesia

A. SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG ADA DI INDONESIA

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.

B. PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

 PENGERTIAN HUKUM PERDATA

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

 KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)

Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

C. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a. Dari pemberlaku undang-undang
Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa

b. Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.

II. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.

III. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.

IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

sumber : http://hati-sitinurlola.blogspot.com/2010/03/hukum-perdata-yang-berlaku-di-indonesia.html

sejarah singkat hukum perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

  1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
  2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

KUHPerdata

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUHPerdata

KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
  1. Buku 1 tentang Orang / Personrecht
  2. Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht
  3. Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
  4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata

Keadaan Hukum Di Indonesia

Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling tubruk dan berkeadilan.  Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahuir di ruang hampa.  Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang disebabkan okleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia.  Dari sini menjadi jelas bahwa hukum dibuat untuk tidak dilaksanakan, tapi untuk dipahami.
Pertanyaannya adalah apakah setiap hukum pastri adil? Terus, bagaimana menyikapi hukum seandainya ia tidak mencermikan keadilan? Apakah hukum yang tidak adil itu wajib dipatuhi?
            Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah selayaknya muncul.  Karena seringkali hukum, baik ditingkat implementasi maupun hukum itu sendiri, mencerminkan ketidakadilan. Contoh hukum yang tidak adil ditingkat implementasi adalah penanganan yang tidak tegas dan malu-malu jika pelanggar hukum itu orang yang dekat dengan kekuasaan. Dinegara kita, penanganan kasus-kasus korupsi tidak pernah tuntas. Uang rakyat yang dijarah makin banyak, tapi tidak ada satupun koruptor yang ditangkap. Sementara, pada waktu yang sama banyak pelanggar hukum kelas teri bergelimpangan terkena “timah panas”.
            Contohnya lagi adalah ketika pejabat pemerintah menggunakan jalan raya, semua jalan ditutup. Para pengguna jalan lain dicegat dan tidak diperbolehkan lewat lebih dulu. Seakan-akan semua urusan para pengguna jalan, yang jumlahnya ribuan itu, tidak penting. Hanya urusan pejabat itu saja yang penting.
            Sementara, contoh hukum yang tidak adil karena memang hukunya tidak adil adalah regulasi-regulasi pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Hukum dibuat untuk kepentingan para pemodal besar, baik untuk melindungi aset maupun untuk meluaskan pasar.
            Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum ‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghoramatan pada hukum dan aturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap hukum merupakan pengkhianatan terhadap negara. Jika hukum itu tidak adil, hukum bisa dicabut. Sudah menjadi tugas warga negara adalah menghormati hukum negara.    

sumber : http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/22/keadaan-hukum-di-indonesia/

Sistematika Hukum Perdata Di Indonesia

Hukum Perdata Indonesia
Adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana)
Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Terjadinya hubungan hukum antara pihak-pihak menunjukkan adanya subyek sebagai pelaku dan benda yang dipermasalahkan oleh para pihak sebagai obyek hukum.
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Terdiri dari orang dan badan hukum.
Obyek hukum adalah segala sesuatu berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. Obyek hukum adalah benda.
Hak adalah kekuasaan, kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum.
Kewajiban adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun badan hukum.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain:
a. sistem hukum Anglo-Saxon (Common Law) yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya termasuk negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat.
b. sistem hukum Eropa Continental, sistem hukum yang diterapkan di daratan Eropa.

sumber : http://mynameisanggun-bukuhariananggun.blogspot.com/2011/02/sistematika-hukum-perdata-di-indonesia.html

Hukum Perikatan

Pengertian
Perikatan ialah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya. Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan terjadi karena :
1. Perjanjian
2.UndangUndang
Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menumbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganutsistimterbuka.

DasarHukumPerikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1.Perikatanyangtimbuldaripersetujuan(perjanjian).
2.Perikatanyangyimbuldariundang–undang.
3.Perikatanterjadibukanperjanjian.
4. Asas–asasdalamHukumPerjanjian:
1.Asas Kebebasan Berkontrak.
Adalah, segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya.
2.Asas Konsensualisme.
Adalah, perjanjian itu lahir saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal – hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syaratyaitu :
1.KataSepakatntaraaraPihakyangMengikatDiri.
2.CarauntukMembuatSuatuPerjanjin
3.engenaiSuatuHalTertentu.
4. Suatu Sebab yang Halal.

Jenis – Jenis Resiko
Jenis – jenis resiko digolongkan menjedi dua kategori, yaitu resiko dalam perjanjian sepihak dan resiko dalam perjanjian timbal balik :
1. Risiko dalam Perjanjian Sepihak.
2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik.
3. Risiko dalam jual beli diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata.
4. Risiko dalam tukar menukar diatur dalam pasal 1545 KUH Perdata.
5. Risiko dalam sewa menyewa diatur dalam pasal 1553 KUH Perdata.

Unsur-unsur dalam perikatan :

• Hubungan hukum
Maksudnya adalah bahwa hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pad apihak lain dan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hukum dapat memaksakannya.

• Harta kekayaan
Maksudnya adalah untuk menilai bahwa suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini yang membedakannya dengan hubungan hukum dibidang moral (dalam perkembangannya, ukuran penilaian tersebut didasarkan pada rasa keadilan masyarakat).

• Para pihak
Pihak yang berhak atas prestasi = kreditur, sedangkan yang wajib memenuhi prestasi = debitur.
• Prestasi (pasal 1234 KUH Perdata), prestasi yaitu :
a. Memberikan sesuatu.
b. Berbuat sesuatu.
c. Tidak berbuat sesuatu.

Definisi perikatan
“Hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.
Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.
Mora kreditoris adalah pihak kreditur yang berhak dapat merugikan pihak debitur.

Titik tolak hukum :
Penghormatan pada manusia.
Perlindungan.
Penghormatan.

Sumber perikatan :
1) Undang-undang (pasal 1352 BW)
a. UU saja, lahirnya anak (pasal 250) dan hak bertetangga (pasal 1625).
b. UU karena perbuatan manusia :
• Perbuatan sah, perwakilan sukarela (pasal 1354), pembayaran tidak wajib (pasal 1359).
• Perbuatan melawan hukum :
• Perbuatan : berbuat atau tidak berbuat.
• Melawan hukum ; sebelum (pasal 1919) dan arti sempit dan sesudah (pasal 1919) dalam arti luas.
• Kerugian ; material dan immaterial.
• Kesalahan ; causalitas (condition sinequanon theorie dan adequate theorie).
2) Perjanjian
o Syarat sahnya perjanjian (pasal 1320).
o Jenis-jenis perjanjian :
ร˜ Tidak dikenal dalam KUH Perdata : perjanjian beli sewa, leasing, fiducia.
ร˜ Dikenal dalam KUH Perdata : perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam mengganti.

Tiga unsur-unsur onrechtmatige :
1. Perbuatan melawan hukum.
2. Adanya kesalahan.
3. Adanya kerugian.
4. adanya hubungan causalitas.

Hapusnya Perikatan
1. Pembayaran : dapat uang atau barang yang dilakukan oleh debitur atau pihak penangung.
Penanggung menggantikan debitur, penggatian kedudukan debitur disebut subrogasi
2. Pembayaran ร  menolak
Debitur dapat menitipkan pembayaran ke Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpan disebut konsinyasi.
Risiko atas barang dan uang pembayaran dan segala biaya penyimpanan menjadi tanggung jawab kreditur .
3. Pembaharuan hutang/novasi:
– novasi obyektif aktif
– novasi subyektif pasif
4. Perjumpaan hutang/perhitungan hutang/compensation
Syarat terjadinya Ps 1427
Semua hutang dapat diperjumpakan kecuali yang disebut dalam Ps 1429
5. Percampuran hutang ร  kreditur dan debitur satu tangan –Ps 1436 dan perhatikan Ps 1437
Pembebasan hutang ร  karena debitur dengan tegas melepaskan haknya atas pemenuhan prestasi.
Syarat: Ps 1438 dan 1439
6. Musnahnya barang yang terhutang tetapi diluar kesalahan debitur
Debitur yang menguasai dengan iktikad jelek ร  mencuri, maka musnahnya barang tidak membebaskan debitur untuk menganti barang yang musnah atau hilang. ร  Ps 1444 dan 1445
7. Pembatalan
Ps. 1466 tertulis batal demi hukum tetapi artinya dapat dibatalkan/atau batal demi hukum
8. Daluwarsa / Verjaring
(Extinctieve Verjaring – Ps 1967)

Perikatan itu bisa dihapus jika memenuhi kriteria – kriteria sesuai dengan pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
1. Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian sukarela.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan.
3. Pembaharuan utang.
4. Penjumpaan uang atau kompensasi.
5. Pencampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang.
8. Batal / pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Lewat waktu.

Memorandum Of Understanding
Memorandum of understanding adalah suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail.
Ciri – ciri Memorandum Of Understanding :
1. Isinya ringkas.
2. Berisikan hal – hal yang pokok saja.
3. Hanya bersifat pendahuluan.
4. Mempunyai jangka waktu berlaklu.
5. Dibuat dalam bentuk perjanjian bawah tangan.
6. Tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa.
Tujuan Memorandum Of Understanding
Untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang bersepakat untuk memperhitungkan apakah saling menguntungkan atau tidak jika diadakan kerja sama sehingga agar Memorandum Of Understanding dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian dan dapat diterapkan sanksi – sanksi.

Sumber : http://rizkiimaments.wordpress.com/2011/02/18/hukum-perikatan/
dan dari berbagai sumber

dasar hukum perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang yimbul dari undang – undang.
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian.
Asas – asas dalam Hukum Perjanjian
1. Asas Kebebasan Berkontrak.
          Adalah, segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Asas Konsensualisme.
          Adalah, perjanjian itu lahir saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal – hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikat Diri.
2. Cara untuk Membuat Suatu Perjanjian.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu.
4. Suatu Sebab yang Halal.
Jenis – Jenis Resiko
Jenis – jenis resiko digolongkan menjedi dua kategori, yaitu resiko dalam perjanjian sepihak dan resiko dalam perjanjian timbale balik :
1. Risiko dalam Perjanjian Sepihak.
2. Risiko dalam Perjanjian Timbal Balik.
3. Risiko dalam jual beli diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata.
4. Risiko dalam tukar menukar diatur dalam pasal 1545 KUH Perdata.
5. Risiko dalam sewa menyewa diatur dalam pasal 1553 KUH Perdata.


sumber: http://sultanblack.blogspot.com/2009/07/bab-i-hukum-ekonomi.html

Azas-azas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

· Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

· Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah

1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri

Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

sumber : http://yasmineszone.blogspot.com/2011/02/azas-azas-dalam-hukum-perikatan.html

Wanprestasi dan akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

SUMBER :
http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/07/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya/

Hapusnya Perikatan

Hapusnya perikatan (ps 1381 KUHPdt) disebabkan:
a. Karena pembayaran
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c. Karena pembaharuan hutang
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
e. Karena pencampuran utang
f. Karena pembebasan utang
g. Karena musnahnya barang yang terutang
h. Karena batal atau pembatalan
i. Karena berlakunya syarat pembatalan
j. Karena lewat waktu atau kadaluarsa


http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan

Hukum Perjanjian

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :

  • Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
    • Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
  • Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
  1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
  2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
  3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
  1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
  2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
  2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
  3. Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
  1. Pemenuhan perikatan
  2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
  3. Ganti rugi
  4. Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
  5. Pembatalan dengan ganti rugi
Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
     Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
     Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
3.  Mengenai suatu hal tertentu
     Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.  Suatu sebab yang halal
     Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

sumber : http://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/

Macam-macam Perjanjian

Ditinjau dari berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) segi, yaitu:
1. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
Secara garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional dibagi lagi ke dalam:
a. Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal.
2. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya
Penggolongan Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
a. Treaty Contract. Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja, maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut serta di dalamnya.
b. Law Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itulah dalam konteks subjek hukumnya adalah negara, biasanya negara-negara perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. Law making treaty ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
i. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja.
ii. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia.
iii. Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu saja.
3. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Perjanjian Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Pada tahap perundingan wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang dirundingkan itu. Perumusan itu nantinya merupakan hasil kata sepakat antara pihak yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua tahap, mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu.
b. Perjanjian Internsional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian. Agar perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi. Dengan dilalui tahap pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu baru berlaku atau mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut isi maupun materi dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi para pihak yang bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak pentingnya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.
4. Perjanjian Internasional ditinjau dari jangka waktu berlakunya
Pembedaan atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat, maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya, maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya. Ada memang perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya karena dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang dan selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri. Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang bersangkutan.

sumber: http://gmuzayyin.blog.telkomspeedy.com/2008/12/31/sumber-hukum-internasional/

Syarat Sahnya Perjanjian

1 Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi wanita.
Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
4.Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
 Sumber :  http://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/

Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian
salah satu pihak (biasanya debitur atau pembeli yang berhubungan bisnis dengan perusahaan besar) tidak memiliki hak memilih yang berarti terhadap beberapa atau seluruh persyaratan kontrak;
persyaratan kontrak biasanya ditetapkan oleh pihak yang memiliki kedudukan kontraktual yang lebih kuat dihadapkan pada harapan-harapan pihak yang berkedudukan lebih lemah.
Pelaksanaannya:
1. dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam akti- vitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;
2. dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi penggunanya, tetapi juga mampu memberikan kepastian hukum bagi pembuatnya;
3. demi pelayanan cepat, ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk dapat digandakan dan ditawarkan dalam jumlah sesuai kebutuhan;
4. isi persyaratan distandarisir atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak;
5. dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal.

Sumber : http://evianthyblog.blogspot.com/2011/03/hukum-perjanjian-pembatalan-dan.html

Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana Dalam Era Ekonomi Global

Judul : AKTUALISASI FUNGSI HUKUM PIDANADALAM ERA EKONOMI GLOBAL

Pengarang/Penulis : Natangsa Surbakti, SH.,MHum.Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta


Isi Review  :
            Liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari proses menuju ekonomi global, menuntut pula dilakukan perubahan pada sistem hukum yang berlaku. Liberalisasi yang menandai beralihnya sistem ekonomi negara dari planned economy menuju market economy,mensyaratkan model pengaturan yang lebih sesuai dengan mekanis medan dinamik pasar yang bercorak liberal dan demokratis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung dalam bingkai marketeconomy, regulasi atau pengaturan aktivitas ekonomi dilakukan dengan memfungsikan hukum ekonomi serta ditopang oleh hukum pidana.
Perubahan corak ekonomi ini yang menuntut perubahan pada sistem hukumnya, tidak serta merta dapat berlangsung cepat dan mudah. Jika perubahan dalam pengelolaan aktivitas ekonomi dapat dilakukan dengan relatif mudah, maka fungsionalisasi sistem hukum baik hukum ekonomi maupun hukum pidana lebih memerlukan keseksamaan. Hal ini disebabkan, sistem hukum dimasa Orde Baru dengan model planned economy cenderung tidak memberikan jaminan kepastian hukum, sementara model marketeconomy sebagai model ekonomi masa mendatang di era ekonomi global dan pasar bebas, mensyaratkan dengan sangat adanya jaminan kepastian hukum ini.Untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum ini, reformasi hukum merupakan conditio sine qua non, prasyarat mutlak yangharus disiapkan. Hukum pidana sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, yang berfungsi mem-back up bekerjanya hukum ekonomi, dengan sendirinya merupakan bidang hukum yang harus mengalami banyak pembenahan mendasar, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Fenomena Global : Suatu Kajian Aspek Hukum

Judul : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Fenomena Global: Suatu Kajian Aspek Hukum

Pengarang/Penulis : Hasim Purba, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Sumber/Link: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17175/1/equ-agu2006-11%20%281%29.pdf

Isi Review:
              Salah satu fenomena global yang sedang hangat dibicarakan adalah pelaksanaan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebagai negara kepulauan yang terletak pada posisi silang dunia, negara Indonesia yang diapit dua Benua yaitu Benua Asia dan Australia serta dua Samudera yaitu Samudera Fasifik dan Samudera Hindia, menjadikan Indonesia berada pada posisi strategis ditengah garis khatulistiwa. Posisi geografis yang strategis tersebut menjadikan Indonesia sangat sulit menghindar dari interaksi masyarakat Internasional dalam lingkup global. Proses globalisasi juga berkembang saat ini dengan pola damai melalui pembentukan berbagai organisasi kerjasama perdagangan baik yang bersifat Internasional seperti GATT/WTO, GATS, maupun regional seperti APEC, AFTA, IMT-GT dan lain-lain.
INDONESIA DAN PERDAGANGAN GLOBAL
Awal tahun 1990-an merupakan suatu pembukaan era baru yang sangat historis dalam sejarah dunia modern. Perkembangan kehidupan global yang ditandai dengan timbulnya berbagai kelompok/blok kekuatan kerjasama ekonomi seperti GATT/WTO, Kerjasama Ekonomi Asia Fasifik (APEC), NAFTA (Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara), AFTA menuntut berbagai negara termasuk Indonesia untuk dapat bergabung dan bekerjasama dengan negaranegara lain yang tergabung dalam organisasi tersebut.
KEK SEBAGAI PELUANG DAN ANCAMAN
Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan.Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang pernahdikembangkan pemerintahan sebelumnya adalah Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dibeberapa Provinsi di Indonesia seperti: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) di Indonesia (Listiyorini, 2006: 15)

KEK sebagai Ancaman
Di samping kita menelaah KEK sebagai peluang, tentunya program KEK juga mengandung berbagai kelemahan yang dapat menjadi ancaman bagi negara penerima KEK termasuk seperti Indonesia. Berbagai aspek yang rentan berbenturan dengan program KEK perlu mendapat perhatian serius, seperti aspek hukum, aspek sosial budaya, aspek politik termasuk aspek pertahanan dan keamanan, jadi dengan demikian masalah KEK tidak tepat apabila kita hanya tinjau dari perspektif keuntungan ekonomi belaka, tapi berbagai aspek tersebut di atas juga harus mendapat telaahan secara proporsional.
Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling membutuhkan. Negara-negara maju sangat berkepentingan untuk mengembangkan jangkauan kegiatan perekonomiannya baik yang dilakukan secara Goverment to Goverment (G to G) maupun yang dilakukan oleh perusahaan Transnasional sebagai investor; sementara dipihak negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang pada umumnya membutuhkan dukungan investasi asing dalam mengolah sumber daya alam yang ada dinegerinya guna mengembangkan perekonomian negara yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi tawar kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga memperoleh manfaat keuntungan yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi perahan negara maju/investor asing dalam program KEK tersebut.

Tinjauan Kriminologi Terhadap Penebangan Hutan Secara Liar (Illegal Logging)

Judul     : Tinjauan Kriminologi Terhadap Penebangan Hutan Secara Liar (Illegal Logging)

Pengarang/Penulis  : Heryanti, Universitas Haluoleo Kendari

Sumber:  http://jurnal.unhalu.ac.id/download/heryanti/TINJAUAN%20KRIMINOLOGI%20TERHADAP%20PENEBANGAN%20HUTAN%20SECARA%20LIAR.pdf

Isi Review :
                  Masalah penegakan hukum dapat dibahas dari segi peraturan perundang-undangan,segi aparat penegak hukum dan segi kesadaran masyarakat yang terkena peraturan itu. Kajian terhadap UUPLH dan perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan mengungkapkan banyak kelemahan dan kerancuan perumusan yang memerlukan pemahaman secara proporsional, khususnya dalam menerapkan sanksi pidana yang bertujuan untuk menjerakan para pelanggar hukum lingkungan supaya tidak mengulangi kesalahannya.
Lingkungan hidup adalah Anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat merupakan Karunia dan Rahmat-Nya wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan masyarakat serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Oleh karena itu, hakikat sanksi pidana adalah sarana atau alat untuk memidana(menghukum) secara fisik dan materiil para pencemar lingkungan yang terbukti bersalah melanggar hukum. Akan tetapi sanksi pidana dalam hukum lingkungan adalah sebagai alternatif sanksi terakhir (ultimum remedium) dan bukan pula sanksi utama (premium remedium) setelah sanksi administratif dan sanksi perdata tidak mampu diterapkan dan menjerakan para pencemar lingkungan hidup. Penanggulangan atau “penyembuhan” yang dilakukan oleh hukum pidana merupakan penyembuhan/pengobatan simptomatis bukan pengobatan kausatif sehingga pemidanaan (pengobatan) terhadap para pelanggar hukum bersifat individual/personal dan tidak bersifat fungsional/struktural (Arif, 1998 :49).
Sebab, pemanfaatan lingkungan untuk pembangunan adalah sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasidan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
Makna hakiki penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum disini adalah pemikiran-pemikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum yang bakal diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Rahardjo, 1983:15). Penegakan hukummemuat aspek legalitas dari suatu peraturan atau undang-undang yang diterapkan pada setiap orang dan atau badan hukum dengan adanya perintah, larangan dan sanksi yang dapat dikenakan terhadap para pelanggarnya yang terbukti bersalah berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam rangka penegakan hukum lingkungan yang berkaitan erat dengan kemampuan petugas penegak hukum dan keputusan warga masyarakat terhadap peraturan hukum lingkungan yang berlaku (ius constitutum) dalam pelaksanaannya di lapangan (iusoperatum) dan meliputi tiga bidang hukum, yaitu administrasi, perdata dan pidana pada perusakan/pencemaran lingkungan. Upaya penyelematan lingkungan yang asri tergantung pada kesadaran bersama, baik pemerintah, pengusaha dan dunia usaha maupun masyarakat setempat yang peduli dengan lingkungan hijau sebagai warisan dan titipan anak cucu kelak.

Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta Indonesia

Judul : Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta Indonesia


Pengarang/Penulis : Budi Agus Riswandi


Alamat/Sumber Jurnal :
http://www.perfspot.com/docs/doc.asp?id=46110
(e-mail: budi@fh.uii.ac.id)

Review Jurnal :

Hukum hendaknya tidak hanya dilihat sebagai suatu tekhnik untuk menyatakan pendapat, tetapi hukum adalah bagian untuk mendorong tujuan kepentingan sosial. Dalam kelangkaan ekonomi mengasumsikan bahwa individu atau masyarakat akan berusaha untuk memaksimalkan segala sesuatu yang ingin mereka capai dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber. Hukum hak cipta merupakan salah satu bagian dari hukum dalam bidang hak kekayaan intelektual.

Hukum hak cipta adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang mengatur dan melindungi kreasi manusia dalam lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Ide dasar sistem hak cipta adalah untuk melindungi wujud hasil karya manusia yang lahir karena kemampuan intelektualnya. Perlindungan hukum ini hanya berlaku kepada ciptaan yang telah mewujud secara khas sehingga dapat didengar, dilihat atau dibaca.

Di Indonesia, pengaturan hukum sejumlah hak cipta diatur dan didasarkan pada ketentuan UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Di dalam UU Hak Cipta permasalahan hukum berhubungan dengan masalah karya cipta. Dari mulai ruang lingkup hak cipta, subjek hak cipta hingga pada sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta. Berkembangnya pemikiran atas analisis ekonomi terhadap hukum pada prinsipnya telah memberikan wacana baru dalam bidang hukum, terutama hukum ekonomi.

Selanjutnya berhubungan dengan analisis ekonomi terhadap penyelesaian pelanggaran hak cipta, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam hal penyelesaian pelanggaran hak cipta apabila ditinjau dari pendekatan analisis ekonomi, Nampak adanya aturan yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Di lain pihak, dengan adanya aturan UU No. 19  Tahun 2002 yang relatif baru ini ternyata mampu menghadirkan aturan-aturan yang mampu memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, baik si pencipta, pemegang hak cipta, dan pemerintah.

Review Jurnal: Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia)

Penulis : AGUS RAHARJOB5A002002
Sumber : 
Review : 
Perkembangan teknologi pada umumnya dan teknologi informasi pada khususnya membawa dampak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup disekitar manusia. Perkembangan teknologi informasi bersimbiosis dengan globalisasi menimbulkan berbagai persoalan hukum. Persoalan hukum yang ditimbukan oleh perkembangan teknologi informasi tak lepas dari janji-janji teknologi yang tidak selamanya terwujud.
Persoalan hukum yang ditimbulkan oleh teknologi informasi merupakan persoalan kemanusiaan karena menyangkut kodrat manusia yang dapat dinilai sesuai dengan kemanusiaan atau tidak. Perikemanusiaan adalah nilai khusus yang bersumber pada nilai kemanusiaan. Jika sesuatu perbuatan dinilai sebagai tindakan yang berperikemanusiaan, ini berarti tindakan tersebut sesuai dengan hakekat manusia, yaitu kemanusiaan. Menempatkan persoalan kemanusiaan sebagai titik tolak dari dampak teknologi informasi sesungguhnya merupakan upaya untuk menempatkan manusia dalam posisi sentral sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila pada Sila Kedua.
Kajian hukum yang menempatkan manusia pada posisi yang utama adalah hokum progresif. Penempatan manusia dalam posisi yang utama seharusnya diikuti oleh para pemikir, pencipta dan pengembang teknologi informasi agar teknologi yang diciptakan dapat membawa kebahagiaan bagi manusia. Dalam menghadapi persoalan yang timbul karena teknologi informasi, hukum memiliki keterbatasan kemampuan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat.
Keterbatasan kemampuan hukum ini tercakup dalam dua asas, yaitu asas teoretik dan asas praktik. Pada asas teoretik,berbagai teori hukum yang ada tak mampu untuk memberi penjelasan mengenai aspek hukum yang ditimbulkan oleh teknologi informasi, sedangkan pada asas praktik, keterbatasan kemampuan hukum dapat dilihat dari efektivitas peraturan yang dibuat oleh penguasa ketika dioperasikan dalam masyarakat.
Pada asas ini keterbatasan tidak hanya terlihat pada peraturan tertulis yang telah dibuat, akan tetapi juga terlihat dari sarana dan prasarana yang mendukung bekerjanya hokum serta aparat penegak hukum yang kurang berani melakukan terobosan atau konstruksi yuridis terhadap cybercrime.
Ini terlihat dari banyaknya kasus cybercrime yang muncul, akan tetapi sedikit sekali yang dapat diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk mengatasi keterbatasan kemampuan hukum itu, maka dimunculkan suatu pandangan baru yaitu suatu model pengaturan yang lebih baik,yaitu The Hybrid of Cyberspace Law. Model pengaturan ini merupakan sintesis dari model pengaturan yang selama ini ada, yaitu traditional regulation model danself-regulation dengan menjadikan Pancasila sebagai acuan utamanya.
Traditional regulation model merupakan regulasi yang didasarkan pada mekanisme yang ada pada the existing law, sedangkan self-regulation merupakan bentuk pengaturan yang berkembang di cyberspace baik dalam bentuk lexinformatica, emergent law, polycentric law maupun modality of cyberspace. Sebagai sintesis dari kedua model pengaturan itu, The Hybrid of Cyberspace Law menampung pula nilai moral dan etika baik yang ada di real space maupun cyberspace (Netiquette), sehingga hukum yang nantinya terbentuk merupakan apeculiar form of social life karena hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural.

Review Jurnal: Tinjauan Hukum Pelaksanaan Otonomi Desa Di Kabupaten Banggai

Judul: TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN OTONOMI DESA DI KABUPATEN BANGGAI
Penulis : Asis Harianto, H.M. Djafar Saidi dan Faisal Abdullah
Sumber/Link : 
Review :
Pelaksanaan otonomi desa pada daerah penelitian secara umum sudah dapat berjalan sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerinah No 72 Tahun 2005 namun belum maksimal khususnya terhadap pelaksana pembangunan di segala bidang di desa-desa yang ada di Kabupaten Banggai.
Faktor yang menjadi pendukung pelaksaanan otonomi di desa-desa Kabupaten Banggai adalah factor dukungan dana guna mendukung tugas, fungsi, dan wewenang kepala dan perangkat desa. Faktor koordinasi yang baik antara kepala desa dengan ketua BPD seperti dengan diadakannya rapat yang diagendakan untuk membahas kemajuan daerah. Faktor komitmen semua pemerintah daerah juga sangat menetukan berhasil tidaknya program pembangunan secara keseluruhan
Selain itu juga terdapat  faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan otonomi di desa-desa Kabupaten Banggai adalah factor sarana dan prasarana yg tidak memadai bahkan sama sekali tidak ada sarana transportasi. Rendahnya gaji atau upah Kepala Desa dan perangkat desa juga mengakibatkan rendahya etos kerja mereka yang pada akhirnya akan sangat mengganggu optimalnya pelaksanaan otonomi daerah.
Desa pada daerah penelitian telah berjalan sesuai harapan masyarakat walaupun masih banyak kekurangan antara lain perihal pelayanan kepada masyarakat karena dengan luasnya wilayah desa masyarakat sulit menemui perangkat desa yang sedang berada di lapangan. Tetapi dari sector pengawasan desa sudah dilaksanakan dengan baik karena bila ada yang melanggar peraturan desa BPD langsung melakukan koordinasi dengan kepala desa untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan kesepakatan yang diketahui oleh masyarakat

Perlindungan Hukum Nasabah Bank Syariah Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pengawasan Oleh Bank Indonesia

Judul : PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH BANK SYARIAH BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA
Penulis : R. Rach Hardjo Boedi Santoso,SH
Sumber :
Review :
Bidang perbankan di masyarakat merupakan kekuatan berdirinya perbankan Syariah di Indonesia. Perubahan paradigma meliputi perubahan keyakinan terhadap Nilai. Di bidang perbankan khususnya telah terjadi perubahan keyakinan terhadap nilai transaksi dengan sistem Riba menjadi transaksi dengan sistem Bagi Hasil.
Sistem ini dikenal masyarakat Islam dengan istilah Mudharobah dan menjadi lembaga perbankan yang dikembangkan sejak tahun 1963 di Mesir. Sedangkan di Indonesia mulai dikembangkan menjadi sistem perbankan sejak tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia.
Berkenaan dengan itu, permasalahan yang akan dilakukan penelitian adalah Bagaimanakah perlindungan hokum terhadap nasabah bank syariah dan Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan bank syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia berkaitan dengan perlindungan hukum nasabah pada bank syariah di Semarang.
Berdasarkan latar belakang dimaksud, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan data sekunder untuk menganalisa hubungan hukum antara bank dengan kreditur serta perlindungan hukum nasabah, dan membandingkan antara bank konvensional dengan bank syariah serta konsekuensi pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Perubahan sistem perbankan harus dikawal dengan regulasi oleh hukum di satu pihak, sementara adanya pengawasan oleh sistem perbankan itu sendiri di lain pihak. Pengawasan dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Tujuan dari pengawasan adalah adanya jaminan pemenuhan ketaatan pada prinsip syariah dalam seluruh aktivitas bank. Sejak tahun 1992, dimulai dengan UU No. 7 Tahun 1992 sampai dengan terbitnya UU No. 21 Tahun 2008 telah terjadi proses perubahan pada regulasi perbankan.
Salah satu bagian yang penting dalam regulasi itu adalah perlindungan terhadap nasabah Bank Syariah. Dari sudut pandang hukum perjanjian, regulasi mengenai perlindungan nasabah Bank diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Sedangkan dari sudut pandang mekanisme perbankan, regulasinya diatur dalam peraturan perbankan, baik melalui Undang-undang maupun melalui peraturan Bank Indonesia. Selanjutnya dari penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa kegiatan utama bank syariah menghimpun dana dan penyaluran kredit dengan prinsip syariah serta pengembangannya dalam menghadapi globalisasi dengan kegiatan usaha di bidang surat berharga di pasar uang dan membuka jasa pelayanan informasi peluang bisnis nasabah sehingga mampu berkompetisi dalam menjaring nasabah dengan bank lain karena memeiliki spesifikasi dalam urusan bisnis nasabah.
Di samping itu, implementasi pengawasan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan perbankan merupakan fundamen yang utama bagi keberhasilan pengembangan bank syariah karena Bank Sentral adalah fundamen keberhasilan negara dalam menjaga sistem perekonomian nasional dalam mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan kesimpulan dimaksud maka sebagai tindaklanjut untuk menghadapai kompetisi dalam globalisasi sistem, Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan khususnya bank syariah agar lebih mengoptimalkan dalam pengkajian perjanjian karena perjanjian awal sebagai dasar penunjukan Bargaining Position antar pihak, dan implementasi kebijakan negara lebih difokuskan pada sosialisasi dan pengembangan sistem keuangan syariah sehingga masyarakat akan menikmati dampak positipnya karena semua pihak mendapatkan bargaining position.

Segi Hukum Bisnis dalam Kebijakan Privatisasi BUMN melalui Penjualan Saham di Pasar Modal Indonesia

Judul : Segi Hukum Bisnis dalam Kebijakan Privatisasi BUMN melalui Penjualan Saham di Pasar Modal Indonesia
Penulis : Pandu Patriadi
Sumber/Link :
Review:
Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 yang menyatakan bahwa bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk melakukan privatisasi melalui pasar modal. Prosedur kebijakan privatisasi BUMN kemudian diperkuat dan diatur dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS Tahun 2000-2004 yang salah satu kegiatan pokoknya adalah kewajiban pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan kepemilikan BUMN melalui proses privatisasi.
Untuk menjaga momentum kebijakan privatisasi BUMN pada bulan Juni 2003. Pemerintah bersama dengan parlemen (DPR) telah mengesahkan UU No. 19/2003 tentang BUMN yang menjadi dasar hukum dalam pengelolaan dan pengawasan BUMN. Temuan dalam penelitian ini adalah Indonesia sudah memiliki dasar hukum bisnis dan peraturan-peraturan yang relative lengkap akan tetapi implementasi kebijakan privatisasi BUMN melalui penjualan saham di pasar modal belum sesuai dengan target yang ditentukan.
Kondisi ini disebabkan oleh belum adanya komitmen yang tinggi di kalangan pimpinan negara (pemerintahan, parlemen. kehakiman) untuk mengembangkan usaha BUMN, belum tuntasnya sosialisasi mengenai aspek hukum kebijakan privatisasi BUMN baik untuk manajemen BUMN. kalangan investor maupun masyarakat luas, lemahnya law enforcement di Indonesia yang mengakibatkan tingkat kepercayaan investor dalam dan luar negeri terhadap kebijakan privatisasi di Indonesia masih rendah. Di Indonesia pasar Modal merupakan bisnis yang cukup baru. Peraturan pasar modal masih tergolong simpel tapi kesimpelan tersebut tidak sepenuhnya ditegakan.
Ketidakadilan di pasar modal juga sering terjadi seperti adanya transaksi dimana pelakunya menghadapi benturan kepentingan tertentu, seperti adanya akuisisi diantara perusahaan-perusahaan dalam satu grup yang sama. Pada prinsipnya hukum tidak melarang dilakukannya transaksi yang menimbulkan benturan kepentingan tersebut, akan tetapi pengaturan tersebut dimaksudkan agar ketidakadilan dapat diredam. Program privatisasi BUMN harus dapat meminimalkan efek negatif dari permasalahan benturan kepentingan ini.